Haruskah Puasa Menjadi Pilihan untuk Irritable Bowel Syndrome (IBS)?

23

Sindrom iritasi usus besar (IBS) mempengaruhi sekitar satu dari sepuluh orang dan ditandai dengan gangguan pencernaan kronis. Meskipun strategi seperti menghindari kopi, makanan pedas, dan makanan berlemak sering kali direkomendasikan, diet tradisional rendah FODMAP dan saran standar belum terbukti efektif secara konsisten. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar penderita IBS—lebih dari separuhnya—mengalami bentuk unik alergi makanan atipikal yang sering kali tidak terdeteksi oleh tes alergi konvensional.

Memahami Alergi Makanan Tidak Biasa dan Radang Usus

Tes alergi tradisional terutama menilai reaksi pada kulit, namun dengan kondisi seperti IBS, memahami apa yang terjadi di dalam usus sangatlah penting. Masukkan endomikroskopi laser confocal, sebuah teknologi yang memungkinkan dokter mengamati dinding usus secara langsung secara real-time. Peneliti dapat memperkenalkan makanan dan mengamati tanda-tanda peradangan dan perubahan pada lapisan usus, bahkan ketika tes tusuk kulit menunjukkan hasil negatif.

Teknologi ini telah mengungkapkan pola umum: banyak pasien IBS mengalami respons “usus bocor”—retak dan peradangan yang terbentuk di dinding usus dalam beberapa menit setelah mengonsumsi makanan tertentu seperti telur, gandum, produk susu, atau kecap. Diet eksklusi—menghilangkan makanan yang dicurigai sebagai pemicu penyakit—telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam mengurangi gejala. Namun, mengidentifikasi pemicu-pemicu ini di luar lingkungan penelitian dapat menjadi sebuah tantangan.

Potensi Puasa: Studi Kasus dan Uji Klinis

Gagasan mengenai pendekatan yang lebih radikal—puasa—telah mendapat perhatian. Sebuah studi kasus menyoroti seorang wanita berusia 25 tahun yang mengalami sakit perut terus-menerus, kembung, dan diare, serta tidak responsif terhadap pengobatan, membaik secara drastis setelah sepuluh hari berpuasa. Yang terpenting, biopsi menunjukkan berkurangnya peradangan, dan pengukuran obyektif mengenai iritabilitas dan sensitivitas usus juga meningkat, menunjukkan adanya “reboot” pada usus.

Terinspirasi oleh kasus-kasus seperti itu, sebuah uji klinis menyelidiki puasa sebagai pengobatan untuk IBS. Para peneliti membandingkan kelompok yang terdiri dari 36 pasien IBS yang menjalani puasa sepuluh hari, bersama dengan vitamin B1 dan C intravena, dengan kelompok kontrol yang terdiri dari 22 pasien yang melanjutkan pengobatan standar (farmakoterapi dan psikoterapi singkat). Kelompok yang berpuasa melaporkan perbaikan yang signifikan dalam nyeri perut, kembung, diare, kehilangan nafsu makan, mual, kecemasan, dan kualitas hidup secara keseluruhan, yang secara substansial mengungguli kelompok kontrol.

Pertimbangan Penting dan Pendekatan Alternatif

Meskipun menjanjikan, temuan penelitian ini perlu ditafsirkan secara hati-hati. Uji coba ini dilakukan secara buta atau acak, sehingga berpotensi menimbulkan bias. Lingkungan terpencil di mana peserta menjalani puasa mungkin mempengaruhi efektivitas komponen psikoterapi.

Perlu juga dicatat bahwa intervensi psikologis bisa sangat efektif untuk IBS. Sebuah penelitian secara acak menugaskan pasien untuk menjalani perawatan medis saja atau perawatan medis yang dikombinasikan dengan psikoterapi selama tiga bulan. Kelompok psikoterapi menunjukkan peningkatan yang lebih besar setelah tiga bulan, dan manfaatnya tetap ada bahkan satu tahun setelah psikoterapi berakhir. Pendekatan psikologis juga terbukti sama efektifnya dengan obat antidepresan dalam menangani IBS.

Selain itu, “efek plasebo” sangat penting dalam pengobatan IBS – sekitar 40% pasien melaporkan perbaikan gejala terlepas dari intervensi spesifik yang dilakukan (termasuk tidak melakukan apa pun). Oleh karena itu, memilih pengobatan yang murah, aman, sederhana, dan bebas efek samping seringkali lebih baik.

Kesimpulan

Puasa mungkin menawarkan pilihan terapi untuk IBS sedang hingga berat, terutama ketika pengobatan konvensional gagal. Namun, pendekatan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan di bawah pengawasan ketat dokter karena potensi risikonya dan pentingnya mempertimbangkan terapi alternatif seperti psikoterapi. Memahami peran alergi makanan yang tidak lazim dan kemampuan penyembuhan alami tubuh—sambil mempertimbangkan pengaruh besar faktor psikologis—adalah kunci untuk mengelola kondisi kompleks ini secara efektif.